ABORTUS IMMINEN

A.    Pengetian
  • Abortus imminen adalah perdarahan bercak yang menunjukkan ancaman terhadap kelangsungan sauatu kehamilan. Dalam kondisi seperti ini kehamilan masih mungkin berlanjut atau dipertahankan. (Syaifudin. Bari Abdul, 2000)
  • Abortus imminen adalah perdarahan pervaginam pada kehamilan kurang dari 20 minggu, tanpa tanda-tanda dilatasi serviks yang meningkat ( Mansjoer, Arif M, 1999)
  • Abortus imminen adalah pengeluaran secret pervaginam yang tampak pada paruh pertama kehamilan ( William Obstetri, 1990)
   
B.    Etiologi
Abortus dapat terjadi karena beberapa sebab yaitu :
1.    Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi, biasanya menyebabkan abortus pada kehamilan sebelum usia 8 minggu. Faktor yang menyebabkan kelainan ini adalah :
a.    Kelainan kromosom, terutama trimosoma dan monosoma X
b.    Lingkungan sekitar tempat impaltasi kurang sempurna
c.    Pengaruh teratogen akibat radiasi, virus, obat-obatan temabakau dan alkohol
2.    kelainan pada plasenta, misalnya endarteritis vili korialis karena hipertensi menahun
3.    faktor maternal seperti pneumonia, typus, anemia berat, keracunan dan toksoplasmosis.
4.    kelainan traktus genetalia, seperti inkompetensi serviks (untuk abortus pada trimester kedua), retroversi uteri, mioma uteri dan kelainan bawaan uterus.

C.    Gambaran Klinis
  1. Terlambat haid atau amenorhe kurang dari 20 minggu
  2. pada pemeriksaan fisik : keadaan umum tampak lemah kesadaran menurun, tekanan darah normal atau menurun, denyut nadi normal atau cepat dan kecil, suhu badan normal atau meningkat
  3. perdarahan pervaginam mungkin disertai dengan keluarnya jaringan hasil konsepsi
  4. rasa mulas atau kram perut, didaerah atas simfisis, sering nyeri pingang akibat kontraksi uterus
  5. pemeriksaan ginekologi :
a.    Inspeksi Vulva :  perdarahan pervaginam ada atau tidak jaringan hasil konsepsi, tercium bau busuk dari vulva
b.    Inspekulo : perdarahan dari cavum uteri, osteum uteri terbuka atau sudah tertutup, ada atau tidak jaringan keluar dari ostium, ada atau tidak cairan atau jaringan berbau busuk dari ostium.
c.    Colok vagina : porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak jaringan dalam cavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia kehamilan, tidak nyeri saat porsio digoyang, tidak nyeri pada perabaan adneksa, cavum douglas tidak menonjol dan tidak nyeri.

D.    Patofisiologi
Pada awal abortus terjadi perdarahan desiduabasalis, diikuti dengan nerkrosis jaringan sekitar yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap benda asing dalam uterus. Kemudian uterus berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing tersebut.
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, villi korialis belum menembus desidua secara dalam jadi hasil konsepsi dapat dikeluarkan seluruhnya. Pada kehamilan 8 sampai 14 minggu, penembusan sudah lebih dalam hingga plasenta tidak dilepaskan sempurna dan menimbulkan banyak perdarahan. Pada kehamilan lebih dari 14 minggu janin dikeluarkan terlebih dahulu daripada plasenta hasil konsepsi keluar dalam bentuk seperti kantong kosong amnion atau benda kecil yang tidak jelas bentuknya (blightes ovum),janin lahir mati, janin masih hidup, mola kruenta, fetus kompresus, maserasi atau fetus papiraseus.
Komplikasi :
1.    Perdarahan, perforasi syok dan infeksi
2.    pada missed abortion dengan retensi lama hasil konsepsi dapat terjadi kelainan pembekuan darah.

E.    Pemeriksaan penunjang
1.    Tes kehamilan positif jika janin masih hidup dan negatif bila janin sudah mati
2.    pemeriksaan Dopler atau USG untuk menentukan apakah janin masih hidup
3.    pemeriksaan fibrinogen dalam darah pada missed abortion
Data laboratorium
1.    Tes urine
2.    hemoglobin dan hematokrit
3.    menghitung trombosit
4.    kultur darah dan urine
F.    Masalah keperawatan
1.    Kecemasan
2.    intoleransi aktifitas
3.    gangguan rasa nyaman dan nyeri
4.    defisit volume cairan

G.    Diagnosa keperawatan
1.    Cemas berhubungan dengan pengeluaran konsepsi
2.    nyeri berhubungan dengan kontraksi uterus
3.    resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan perdarahan
4.    kehilangan berhubungan dengan pengeluaran hasil konsepsi
5.    intoleransi aktivitas berhubungan dengan nyeri

H.    Tujuan
DX I    : Mengurangii atau menghilangkan kecemasan
DX II    : Mengurangi atau menghilangkan rasa sakit
DX III    : Mencegah terjadinya defisit cairan
DX IV    : Mengurangi atau meminimalkan rasa kehilangan atau duka cita
DX V    : Klien dapat melakukan aktifitas sesuai dengan toleransinya

I.    fokus intervensi
DX I    : Cemas berhubungan dengan pengeluaran hasil konsepsi
     Intervensi :
-    Siapkan klien untuk reaksi atas kehilangan
-    Beri informasi yang jelas dengan cara yang tepat
DX II    : nyeri berhubungan dengan kontraksi uteri
    Intervensi
-    Menetapkan laporan dan tanda-tanda yang lain. Panggil pasien dengan nama lengkap. Jangan tinggalkan pasien tanpa pengawasan dalam waktu yang lama
-    Rasa sakit dan karakteristik, termasuk kualitas waktu lokasi dan intensitas
-    Melakukan tindakan yang membuat klien merasa nyaman seperti ganti posisi, teknik relaksasi serta kolaburasi obat analgetik
DX III    : Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan perdarahan
    Intervensi :
-    Kaji perdarahan pada pasien, setiap jam atau dalam masa pengawasan
1.    Kaji perdarahan Vagina : warna, jumlah pembalut yang digunakan, derajat aliran dan banyaknya
2.    kaji adanya gumpalan
3.    kaji adanya tanda-tanda gelisah, taki kardia, hipertensi dan kepucatan
-    monitor nilai HB dan Hematokrit
DX IV :  Kehilangan berhubungan dengan pengeluaran hasil konsepsi
Intervensi :
-    Pasien menerima kenyataan kehilangan dengan tenang tidak dengan cara menghakimi
-    Jika diminta bisa juga dilakukan perawatan janin
-    Menganjurkan pada pasien untuk mendekatkan diri pada Tuhan YME
DX V : Intoleransi aktifitas berhubungan dengan nyeri
    Intervensi
-    Menganjurkan pasien agar tiduran
-    Tidak melakukan hubungan seksual





Patway Disini



Askep Bronchopneumonia


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Anak merupakan hal yang paling penting artinya bagi sebuah keluarga. Selain sebagai penerus keturunan , anak pada akhirnya juga sebagai generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, tidak satupun orang tua yang menginginkan anaknya jatuh sakit, lebih-lebih bila anaknya mengalami bronchopneumonia.
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 3 tahun dengan resiko kematian yang tinggi pada bayi yang berusia kurang dari 2 bulan, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun (1).Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Penggunaan antibiotik, membuat penyakit ini bisa dikontrol beberapa tahun kemudian. Namun tahun 2000, kombinasi bronchopneumonia dan influenza kembali merajalela dan menjadi penyebab kematian ketujuh di negara itu.
Bronchopneumonia adalah infeksi yang menyebabkan paru-paru meradang. Kantung-kantung udara dalam paru yang disebut alveoli dipenuhi nanah dan cairan sehingga kemampuan menyerap oksigen menjadi kurang. Kekurangan oksigen membuat sel-sel tubuh tidak bisa bekerja. Gara- gara inilah, selain penyebaran infeksi ke seluruh tubuh, penderita bronchopneumonia bisa meninggal. Sebenarnya bronchopneumonia bukanlah penyakit tunggal. Penyebabnya bisa bermacam-macam dan diketahui ada 30 sumber infeksi, dengan sumber utama bakteri, virus, mikroplasma, jamur, berbagai senyawa kimia maupun partikel.
B. TUJUAN
Tujuan penulisan dari makalah ini untuk memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah keperawatan anak dan membantu mahasiswa dan pembaca untuk memahami penyakit bronchopneumonia yang terjadi pada anak dan menambah pengalaman mahasiswa keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan bronchopneumonia

C. MANFAAT
1. Bagi Institusi
Menilai/mengevaluasi sejauh mana pemahaman mahasiswa dalam memahami ilmu yang telah diberikan khususnya dalam melaksanakan proses keperawatan dan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya terutama yang berkaitan dengan asuhan keperawatan pada anak dengan bronchopneumonia.
2. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan bronchopnemonia serta dalam melakukan pendokumentasian dan penyusunan makalah bronchopneumonia.

D. METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan penulis dalam penyusunan makalah ini adalah:
a. Memperoleh data dengan menggunakan referensi yang ada kaitannya dengan masalah yang diangkat penulis.
b. Memperoleh data melalui internet.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
I. KONSEP DASAR MEDIS
A. PENGERTIAN
Bronchopneumonia adalah radang pada paru-paru yang mempunyai penyebaran berbercak, teratur dalam satu area atau lebih yang berlokasi di dalam bronki dan meluas ke parenkim paru (Brunner dan Suddarth, 2001).
Bronchopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak Infiltrat (Whalley and Wong, 1996).
Bronchopneumina adalah frekwensi komplikasi pulmonary, batuk produktif yang lama, tanda dan gejalanya biasanya suhu meningkat, nadi meningkat, pernapasan meningkat (Suzanne G. Bare, 1993).
Bronchopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing (Sylvia Anderson, 1994).
Dari beberapa penngertian tersebut dapat disimpulkan,Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri,virus dan jamur dan benda asing

B. ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PERNAPASAN
a. Anatomi
Sistem pernapasan terdiri atas :
• Hidung
Merupakan saluran udara yang pertama, berfungsi mengalirkan udara ke dan dari paru-paru. Jalan napas ini berfungsi sebagai penyaring kotoran dan melembabkan serta menghangatkan udara yang dihirupkan ke dalam paru-paru.
• Faring atau tenggorokan
Struktur seperti tuba yang menghubungkan hidung dan rongga mulut ke laring.faring dibagi menjadi tiga region : nasofaring, orofaring, dan laringofaring.
• Laring atau pangkal tenggorokan
Struktur epitel kartilago yang menghubungkan faring dan trakea. Fungsi utama laring adalah untuk memungkinkan terjadinya vokalisasi,melindungi jalan napas bawah dari obstruksi benda asing dan memudahkan batuk. Laring sering juga disebut sebagai kotak suara. Dan terdiri atas : epiglotis , glotis, kartilago tiroid, kartilago krikoid,kartilaago aritenoid dan pita suara.
• Trakea atau batang tenggorokan
Merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16-20 cincin yang dari tulang-tulang rawan.
• Bronkus atau cabang tenggorokan
Merupakan lanjutan dari trakea terdiri dari bronkus kiri dan kanan.
• Paru-paru
Merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung alveoli. Paru-paru dibagi menjadi 2 bagian yaitu : paru-paru kanan dan kiri, dimana paru-paru kanan terdiri dari 3 lobus dan paru-paru kiri terdiri dari 2 lobus.
b. Fisiologi
Proses pernapasan paru merupakan pertukaran oksigen dan karbondioksida yang terjadi pada paru-paru. Proses ini terdiri dari 3 tahap yaitu :
a. Ventilasi
Ventilasi merupakan proses keluar dan masuknya oksigen dari atmosfer ke dalam alveoli atau dari alveoli ke atmosfer. Ada dua gerakan pernapasan yang terjadi sewaktu pernapasan, yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi atau menarik napas adalah proses aktif yang diselenggarakan oleh kerja otot. Kontraksi diafragma meluaskan rongga dada dari atas sampai ke bawah, yaitu vertikal. Penaikan iga-iga dan sternum meluaskan rongga dada ke kedua sisi dan dari depan ke belakang. Pada ekspirasi, udara dipaksa keluar oleh pengendoran otot dan karena paru-paru kempis kembali, disebabkan sifat elastik paru-paru itu. Gerakan-gerakan ini adalah proses pasif. Proses ventilasi dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu adanya perbedaan tekanan antara atmosfer dengan paru, adanya kemampuan thoraks dan paru pada alveoli dalam melaksanakan ekspansi, refleks batuk dan muntah.
b. Difusi gas
Difusi gas merupakan pertukaran antara oksigen di alveoli dengan kapiler paru dan CO2 di kapiler dengan alveoli. Proses pertukaran dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu luasnya permukaan paru, tebal membran respirasi, dan perbedaan tekanan dan konsentrasi O2.
c. Transportasi gas
Transportasi gas merupakan proses pendistribusian O2 kapiler ke jaringan tubuh dan CO2 jaringan tubuh ke kapiler. Transportasi gas dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu curah jantung (kardiak output), kondisi pembuluh darah, latihan (exercise), eritrosit dan Hb.

C. ETIOLOGI
Pada umumnya tubuh terserang Bronchopneumonia karena disebabkan oleh penurunan mekanisme pertahanan tubuh terhadap virulensi organisme patogen.Penyebab Bronchopneumonia yang biasa ditemukan adalah:
1. Bakteri : Diplococus Pneumonia, Pneumococcus, Stretococcus Hemoliticus Aureus, Haemophilus Influenza, Basilus Friendlander (Klebsial Pneumoni), Mycobacterium Tuberculosis.
2. Virus : Respiratory syntical virus, virus influenza, virus sitomegalik.
3. Jamur : Citoplasma Capsulatum, Criptococcus Nepromas, Blastomices Dermatides, Aspergillus Sp, Candinda Albicans, Mycoplasma Pneumonia. Aspirasi benda asing.
4. Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya Bronchopnemonia adalah
a) Faktor predisposisi
-usia /umur
-genetik
b) Faktor pencetus
-gizi buruk/kurang
-berat badan lahir rendah (BBLR)
-tidak mendapatkan ASI yang memadai
-imunisasi yang tidak lengkap
-polusi udara
-kepadatan tempat tinggal

D. PATOFISIOLOGI
Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh virus penyebab Bronchopneumonia yang masuk ke saluran pernafasan sehingga terjadi peradangan broncus dan alveolus dan jaringan sekitarnya. . Inflamasi pada bronkus ditandai adanya penumpukan sekret, sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi positif dan mual. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :
A. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
B. Stadium II/hepatisasi (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
C. Stadium III/hepatisasi kelabu (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
D. Stadium IV/resolusi (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula. Inflamasi pada bronkus ditandai adanya penumpukan sekret, sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi positif dan mual.
Bila penyebaran kuman sudah mencapai alveolus maka komplikasi yang terjadi adalah kolaps alveoli, fibrosis, emfisema dan atelektasis.Kolaps alveoli akan mengakibatkan penyempitan jalan napas, sesak napas, dan napas ronchi. Fibrosis bisa menyebabkan penurunan fungsi paru dan penurunan produksi surfaktan sebagai pelumas yang berfungsi untuk melembabkan rongga fleura. Emfisema ( tertimbunnya cairan atau pus dalam rongga paru ) adalah tindak lanjut dari pembedahan. Atelektasis mengakibatkan peningkatan frekuensi napas, hipoksemia, acidosis respiratori, pada klien terjadi sianosis, dispnea dan kelelahan yang akan mengakibatkan terjadinya gagal napas.

E. MANIFESTASI KLINIK
• Biasanya didahului infeksi traktus respiratoris atas
• Demam (390 – 400C) kadang-kadang disertai kejang karena demam yang tinggi
• Anak sangat gelisah,dan adanya nyeri dada yang terasa ditusuk-tusuk, yang dicetuskan oleh bernapas dan batuk
• Pernapasan cepat dan dangkal disertai pernapasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut.
• Kadang-kadang disertai muntah dan diare
• Adanya bunyi tambahan pernapasan seperti ronchi, whezing.
• Rasa lelah akibat reaksi peradangan dan hipoksia apabila infeksinya serius.
• Ventilasi mungkin berkurang akibat penimbunan mokus yang menyebabkan atelektasis absorbsi.

F. KOMPLIKASI
1. Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.
2. Empisema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.
3. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
4. Infeksi sistemik
5. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
6. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.


G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
 Pemeriksaan radiologi yaitu pada foto thoraks, konsolidasi satu atau beberapa lobus yang berbercak-bercak infiltrat
 Pemeriksaan laboratorium didapati lekositosit antara 15000 sampai 40000 /mm3.
 Hitung sel darah putih biasanya meningkat kecuali apabila pasien mengalami imunodefiensi.
 Pemeriksaan AGD (analisa gas darah), untuk mengetahui status kardiopulmoner yang berhubungan dengan oksigen.
 Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah : diambil dengan biopsi jarum, untuk mengetahui mikroorganisme penyebab dan obat yang cocok untuk menanganinya.

H. PENATALAKSANAAN
A. Farmakologi
 Pemberian antibiotik misalnya penisilin G, streptomisin, ampicillin, gentamisin.
 Pemilihan jenis antibiotik didasarkan atas umur, keadaan umum penderita, dan dugaan kuman penyebab:
1. Umur 3 bulan-5 tahun,bila toksis disebabkan oleh streptokokus pneumonia, Hemofilus influenza atau stafilokokus.Pada umumnya tidak diketahui penyebabnya, maka secara praktis dipakai :
Kombinasi : penisilin prokain 50.000-100.000 KI/kg/24 jam IM, 1-2 kali sehari dan Kloramfenikol 50-100 mg/kg/24 jam IV/oral, 4 kali sehari. Atau kombinasi Ampisilin 50-100 mg/kg/24 jam IM/IV, 4 kali sehari dan Kloksasilin 50 mg/kg/24 jam IM/IV, 4 kali sehari atau kombinasi Eritromisin 50 mg/kg/24 jam, oral 4 kali sehari dan Kloramfenikol (dosis sama dengan diatas).
2. Anak –anak < 5 tahun, yang non toksis, biasanya disebabkan oleh : Streptokokus pneumonia: o Penisilin prokain IM atau o Fenoksimetilpenisilin 25.000-50.000 KI/24 jam oral, 4 kali sehari o Eritromisin atau o Kotrimoksazol 6/30 mg/kg/24 jam, oral 2 kali sehari. o Oksigen 1-2 L/menit.  IVFD dekstrose 5 % ½ NaCl 0,225% 350cc / 24 jam  ASI/PASI 8 x 20cc per sonde B. Non farmakologi 1. Istirahat, umumnya penderita tidak perlu dirawat, cukup istirahat dirumah. 2. Simptomatik terhadap batuk. 3. Batuk yang produktif jangan ditekan dengan antitusif 4. Bila terdapat obstruksi jalan napas, dan lendir serta ada febris, diberikan broncodilator. 5. Pemberian oksigen umumnya tidak diperlukan, kecuali untuk kasus berat. Antibiotik yang paling baik adalah antibiotik yang sesuai dengan penyebabnya. I. PENCEGAHAN Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti : cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur ,menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dll. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain: 1. Vaksinasi Pneumokokus 2. Vaksinasi H. Influenza 3. Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah 4. Vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit. II.

KONSEP DASAR KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN A. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan DS : polusi udara, lingkungan berdebu,adanya anggota keluarga yang pernah menderita bronchopneumonia,tidak mendapat vaksinasi /imunisasi yang lengkap,tidak mendapaat ASI yang memadai,lingkungan yang padat penduduk. DO : demam, menggigil, berkeringat,sesak napas,batuk,jenis kelamin, gangguan sistem imun : SLE, AIDS, Penggunaan steroid atau kemoterapi, dominan pada usia > 3 tahun, rumah berdebu.
B. Pola nutrisi dan metabolic
DS : kehilangan nafsu makan ,mual /muntah, riwayat DM, tidak mendapat ASI yang memadai.
DO : gizi buruk, BBLR,defisiensi vitamin A, distensi abdomen, hiperaksi bunyi usus, kulit kering,turgor kulit tidak elastis.
C. Pola aktivitas dan latihan
DS : kelelahan, kelemahan, takipnoe,insomnia, stridor
DO: letargi, pernapasan cuping hidung, sianosis,sputum,ronchi, fremitus meningkat, takikardi
D. Pola tidur dan istirahat
DS: insomnia, batuk ,sesak, stridor
DO: batuk, sesak, stridor, gelisah
E. Pola kognitif
DS: sakit kepala, nyeri dada
DO: rewel, menangis, bingung, samnolens
F. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress
DO: stress ,ngompol, mengisap jari
DS : menangis, melempar mainan, isap jari

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa yang dapat diangkat adalah :
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d akumulasi lendir di jalan napas, inflamasi trakeabronkial, nyeri pleuritik, penurunan energi, kelemahan.
2. Gangguan pertukaran gas b/d obstruksi saluran pernapasan
3. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi, mual dan muntah.
5. Intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, kelemahan umum, batuk berlebihan dan dispnea.
6. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan evaporasi tubuh, kurangnya intake cairan.

C. PERENCANAAN KEPERAWATAN
 DP 1: Ketidakefektifan Bersihan jalan napas b/d akumulasi lendir di jalan napas,inflamasi trakeabronkial,nyeri pleuritik,penurunan energi,kelemahan.
HYD: -pasien menunjukkan perilaku mencapai bersihan jalan napas
-pasien menunjukkan jalan napas dengan bunyi napas bersih,tidak ada dispnea dan sianosis
Rencana tindakan :
 Kaji atau pantau pernapasan klien
Rasionalnya: Mengetahui frekuensi pernapasan klien sebagai indikasi dasar gangguan pernapasan.
 Auskultasi bunyi napas tambahan (ronchi,wheezing)
Rasionalnya: adanya bunyi napas tambahan yang menandakan gangguan pernapasan.
 Berikan posisi yang nyaman misalnya posisi semi fowler
Rasionalnya : posisi semi fowler memungkinkan ekspansi paru lebih maksimal
 Terapi inhalasi dan latihan napas dalam dan batuk efektif
Rasionalnya : napas dalam memudahkan ekspirasi maksimum paru-paru/jalan napas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme membersihkan jalan napas alami, membantu silia mempertahankan jalan napas paten.
 Memberian cairan per oral/IV sesuai usia anak,tawarkan air hangat daripada dingin. Rasionalnya : cairan khususnya yang hangat memobilisasi serta mengeluarkan lendir.
 Kolaborasi dengan dokter dalam pengisapan lendir sesuai indikasi
Rasionalnya : merangsang batuk serta membersihkan jalan napas secara mekanik pada pasien yang tidak mampu melakukan pernapasan karena batuk tidak efektif atau penurunan kesadaran.

 DP 2 : Gangguan pertukaran gas b/dobstruksi saluran pernapasan
HYD : pasien akan menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang normal dan tidak ada gejala distress pernapasan.
Rencana tindakan :
 Monitor / kaji tanda-tanda vital, kesulitan bernapas, retraksi stomal.
Rasionalnya : data dasar untuk pengkajian lebih lanjut.
 Observasi warna kulit,membran mukoasa dan kuku,catat adanya sianosis
Rasionalnya : sianosis kuku menunjukkan vasokontriksi atau respon tubuh terhadap demam/menggigil namun sianosis daun telinga, membran mukosa, dan kulit sekitar mulut menunjukkan hipoksemia sistemik.
 Kaji status mental
Rasionalnya : gelisah, mudah terangsang, bingung dan samnolens dapat menunjukkan hipoksemia/penurunan oksigenasi serebral.
 Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi,napas dalam dan batuk efektif.
Rasionalnya :tindakan ini meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan pengeluaran sekret untuk memperbaiki ventilasi.
 Pertahankan istirahat tidur
Rasionalnya : mencegah kelelahan dan menurunkan kebutuhan oksigen untuk kemudahan perbaikan infeksi.

 DP 3 : Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
HYD : Pasien tidak memperlihatkan tanda peningkatan suhu tubuh
Rencana tindakan :
 Pantau suhu pasien (perhatiakan menggigil/diaforesis)
Rasional : Suhu 38,9 – 41,10 C menunjukkan proses penyakit, infeksius akut. Pola demam dapat membantu diagnosis.
 Pantau suhu lingkungan, batasi aktivitas.
Rasional : suhu ruangan di ubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal.
 Berikan kompres hangat
Rasional : dapat membantu mengurangi demam. Penggunaan air dingin/ es kemungkinan menyebabkan peningkatan suhu secara aktual.
 Berikan antipiretik misalnya parasetamol
Rasional : mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus, parasetamol baik untuk anak karena parasetamol memiliki efek yg minimal terutama bagi anak.
 DP 4 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi, mual dan muntah.
HYD : Pasien menunjukkan peningkatan nafsu makan dan mempertahankan berat badan
Rencana tindakan :
 Indentifikasi factor yang menyebabkan kesulitan menelan (nyeri)
Rasional : pilihan intervensi tergantung pada penyebaran masalah
 Auskultasi bunyi usus , observasi / palpasi distensi abdomen
Rasional : Bunyi usus mungkin menurun / tak ada bila proses infeksi berat/memanjang.
 Berikan makan porsi kecil tapi sering
Rasional : Tindakan ini dapat meningktkan masukan meskipun nafsu makan mungkin lambat untuk kembali.
 Timbang berat badan setiap hari
Rasional : Peningkatan berat badan secara bertahap menandakan adanya perbaikan status nutrisi pasien

 DP 5 : Intoleransi aktivitas b/d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, kelemahan umum,batuk berlebihan dan dispnea.
HYD : pasien menunjukan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan tidak adanya dispnea, kelemahan berlebihan dan tanda vital normal.
Rencana tindakan :
 Monitor keterbatasan aktivitas, kelemahan saat beraktivitas.
Rasionalnya : merencanakan intervensi yang tepat.
 Bantu pasien dalam melakukan aktivitas.
Rasionalnya : ADL-nya dapat terpenuhi.
 Bantu pasien perawatan diri yang diperlukan
Rasionalnya: meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan O2
 Lakukan istirahat yang adekuat setelah beraktivitas.
Rasionalnya : membantu mengembalikan energi.
 Berikan diet yang adekuat dengan kolaborasi ahli diet.
Rasionalnya : metabolisme membutuhkan energi.
 Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan
Rasionalnya : tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan metabolic,menghemat energi untuk penyembuhan.
 DP 6 : Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan evaporasi tubuh, kurangnya intake cairan.
HYD : kebutuhan cairan pasien terpenuhi dan adekuat, tanda vital (suhu) rentang normal.
Rencana tindakan :
 Kaji perubahan tanda vital, contoh peningkatan suhu/demam
Rasional : peningkatan suhu / demam meningkatkan laju metabolik Sn kehilangan cairan melalui evaporasi .
 Kaji turgor kulit, kelembapan membran mukosa (bibir, lidah)
indikator langsung keadekuatan volume cairan , meskipun membran mukosa mulut mungkin kering karena napas mulut dan oksigen tambahan.
 pantau masukan dan haluaran, catat warna, karakter urine. Hitung keseimbangan cairan. Waspadai kehilangan yang tak tampak. Ukur BB sesuai indikasi.
Rasional : memberikan informasi tentang keadekuatan volume cairan dan kebutuhan penggantian
 Pertahankan pemasukan cairan yang adekuat.
Rasional : Pada anak volume cairan adalah 20-25 % dari BB anak.
 Beri obat sesuai indikasi , misalnya antipiretik
Rasional : berguna menurunkan kehilangan cairan serta peningkatan suhu.
 Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluan
Rasional : pada adanya penurunan masukan / banyak kehilangan penggunaan parenteral dapat memperbaiki/ mencegah kekurangan.

D. DISCHARGE PLANNING
Hal-hal yang perlu disampaikan kepada keluarga dan pasien sebelum pulang adalah :
 Memberitahukan kepada pasien dan keluarga untuk melanjutkan pengobatan di rumah sesuai dosis dan instruksi dokter
 Memberitahukan jadwal kontrol di dokter kepada pasien dan keluarga
 Mengajarkan kepada keluarga seperti :
-minum air hangat
-istirahat secukupnya
-mencuci tangan dengan sering
-membersihkan mulut dengan sering
 Memberitahukan keluarga pasien tentang pentingnya memberi ASI eksklusif dan nutrisi pada anak untuk mempertahankan sistem kekebalan tubuh dan mempercepat proses penyembuhannya.
 Memberitahukan pada keluarga pasien tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal ,hindari merokok,polusi udara,lingkungan berdebu karena dapat menurunkan kesehatan dan melemahkan kondisi saluran napas anak.
 Memberitahukan pentingnya pemberian imunisasi pada anak, karena dengan imunisasi kekebalan tubuh semakin kuat dan mikroorganisme sulit masuk dalam tubuh.
 Mengajarkan tindakkan sederhana yang dapat dilakukan bila anak sakit misalnya : memberikan kompres hangat untuk menurunkan demam, memberikan minuman yang cukup untuk mencegah dehidrasi, memberikan minuman hangat untuk membantu mengencerkan sekret yang kental.


DAFTAR PUSTAKA

• Somantri, Irman. 2008. Asuhan keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : Salemba medika
• Doenges. E. Marylin. 1992.Nursing Care Plan. Jakarta: EGC
• Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fak. Kedokteran Universitas Indonesia. 1985. Ilmu Kesehatan Anak 3. Jakarta


ERITRODERMA

A. DEFINISI
•    Eritroderma ( dermatitis eksfoliativa ) adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritema seluruh / hampir seluruh tubuh , biasanya disertai skuama ( Arief Mansjoer , 2000 : 121 ).
•    Eritroderma merupakan inflamasi kulit yang berupa eritema yang terdapat hampir atau di seluruh tubuh ( www. medicastore . com ).
•    Dermatitis eksfoliata generalisata adalah suatu kelainan peradangan yang ditandai dengan eritema dan skuam yang hampir mengenai seluruh tubuh ( Marwali Harahap , 2000 : 28 )
•    Dermatitis eksfoliata merupakan keadaan serius yang ditandai oleh inflamasi yang progesif dimana eritema dan pembentukan skuam terjadi dengan distribusi yang kurang lebih menyeluruh ( Brunner & Suddarth vol 3 , 2002 : 1878 ).

B. ETIOLOGI
Berdasarkan penyebabnya , penyakit ini dapat dibagikan dalam 2 kelompok :
1.    Eritrodarma eksfoliativa primer
Penyebabnya tidak diketahui. Termasuk dalam golongan ini eritroderma iksioformis konginetalis dan eritroderma eksfoliativa neonatorum(5–0 % ).

2.    Eritroderma eksfoliativa sekunder
a.    Akibat penggunaan obat secara sistemik yaitu penicillin dan derivatnya , sulfonamide , analgetik / antipiretik dan ttetrasiklin.
b.    Meluasnya dermatosis ke seluruh tubuh , dapat terjadi pada liken planus , psoriasis , pitiriasis rubra pilaris , pemflagus foliaseus , dermatitis seboroik dan dermatitis atopik.
c.    Penyakit sistemik seperti Limfoblastoma.
( Arief Mansjoer , 2000 : 121 : Rusepno Hasan 2005 : 239 )

C. ANATOMI
Kulit mepunyai tiga lapisan utama : Epidermis , Dermis dan Jaringan sub kutis. Epidermis ( lapisan luar ) tersusun dari beberapa lapisan tipis yang mengalami tahap diferensiasi pematangan.
Kulit ini melapisi dan melindungi organ di bawahnya terhadap kehilangan air , cedera mekanik atau kimia dan mencegah masuknya mikroorganisme penyebab penyakit. Lapisan paling dalam epidermis membentuk sel – sel baru yang bermigrasi kearah permukaan luar kulit. Epidermis terdalam juga menutup luka dan mengembalikan integritas kulit sel – sel khusus yang disebut melanosit dapat ditemukan dalam epidermis. Mereka memproduksi melanin , pigmen gelap kulit. Orang berkulit lebih gelap mempunyai lebih banyak melanosit aktif.


Epidermis terdiri dari 5 lapisan yaitu :
a.    Stratum Korneum
Selnya sudah mati , tidak mempunyai intisel , intiselnya sudah mati dan mengandung zat keratin.
b.    Stratum lusidum
Selnya pipih , bedanya dengan stratum granulosum ialah sel – sel sudah banyak yang kehilangan inti dan butir – butir sel telah menjadi jernih sekali dan tembus sinar.
Lapisan ini hanya terdapat pada telapak tangan dan telapak kaki.
c.    Stratum Granulosum
Stratum ini terdiri dari sel – sel pipih. Dalam sitoplasma  terdapat butir–butir yang disebut keratohialin yang merupakan fase dalam pembentukan keratin.
d.    Stratum Spinosum / Stratum Akantosum
Lapisan yang paling tebal.
e.    Stratum Basal / Germinativum
Stratum germinativum menggantikan sel – sel yang diatasnya dan merupakan sel – sel induk.
Dermis terdiri dari 2 lapisan :
a.    Bagian atas , papilaris ( stratum papilaris )
b.    Bagian bawah , retikularis ( stratum retikularis )
Kedua jaringan tersebut terdiri dari jaringan ikat lonngar yang tersusun dari serabut – serabut kolagen , serabut elastis dan serabut retikulus
Serabut kolagen untuk memberikan kekuatan pada kulit. Serabut elastis memberikan kelenturan pada kulit.
Retikulus terdapat terutama di sekitar kelenjar dan folikel rambut dan memberikan kekuatan pada alat tersebut.
Subkutis
Terdiri dari kumpulan – kumpulan sel – sel lemak dan diantara gerombolan ini berjalan serabut – serabut jaringan ikat dermis.
Fungsi kulit :
- Proteksi             - Pengatur suhu
- Absorbsi            - Pembentukan pigmen
- Eksresi        - Keratinisasi
- Sensasi                - Pembentukan vit D
( Syaifuddin , 1997 : 141 – 142 )

D. PATOFISIOLOGI
Pada dermatitis eksfoliatif terjadi pelepasan stratum korneum ( lapisan kulit yang paling luar ) yang mencolok yang menyebabkan kebocoran kapiler , hipoproteinemia dan keseimbangan nitrogen yang negatif . Karena dilatasi pembuluh darah kulit yang luas , sejumlah besar panas akan hilang jadi dermatitis eksfoliatifa memberikan efek yang nyata pada keseluruh tubuh.
Pada eritroderma terjadi eritema dan skuama ( pelepasan lapisan tanduk dari permukaan kult sel – sel dalam lapisan basal kulit membagi diri terlalu cepat dan sel – sel yang baru terbentuk bergerak lebih cepat ke permukaan kulit sehingga tampak sebagai sisik / plak jaringan epidermis yang profus.
Mekanisme terjadinya alergi obat seperti terjadi secara non imunologik dan imunologik ( alergik ) , tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada mekanismee imunologik, alergi obat terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang sudah tersensitasi dengan obat tersebut. Obat dengan berat molekul yang rendah awalnya berperan sebagai antigen yang tidak lengkap ( hapten ). Obat / metaboliknya yang berupa hapten ini harus berkojugasi dahulu dengan protein misalnya jaringan , serum / protein dari membran sel untuk membentuk antigen obat dengan berat molekul yang tinggi dapat berfungsi langsung sebagai antigen lengkap.
( Brunner & Suddarth vol 3 , 2002 : 1878 )

F. MANIFESTASSI KLINIS 
•    Eritroderma akibat alergi obat , biasanya secara sistemik. Biasanya timbul secara akut dalam waktu 10 hari. Lesi awal berupa eritema menyeluruh , sedangkan skuama baru muncul saat penyembuhan.
•    Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit yang tersering addalah psoriasis dan dermatitis seboroik pada bayi ( Penyakit Leiner ).
–    Eritroderma karena psoriasis
Ditemukan eritema yang tidak merata. Pada tempat predileksi psoriasis dapat ditemukan kelainan yang lebih eritematosa dan agak meninngi daripada sekitarnya dengan skuama yang lebih kebal. Dapat ditemukan pitting nail.
–    Penyakit leiner ( eritroderma deskuamativum )
Usia pasien antara 4 -20 minggu keadaan umum baik biasanya tanpa keluhan. Kelainan kulit berupa eritama seluruh tubuh disertai skuama kasar.
–    Eritroderma akibat penyakit sistemik , termasuk keganasan. Dapat ditemukan adanya penyakit pada alat dalam , infeksi dalam dan infeksi fokal. ( Arif Masjoor , 2000 : 121 )

G. KOMPLIKASI
Komplikasi eritroderma eksfoliativa sekunder :
- Abses             - Limfadenopati
- Furunkulosis        - Hepatomegali
- Konjungtivitis        - Rinitis
- Stomatitis             - Kolitis
- Bronkitis
( Ruseppo Hasan , 2005 : 239 : Marwali Harhap , 2000 , 28 )


DAFTAR PUSTAKA

Brunner 7 Suddarth vol 3 , 2002. KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH, Jakarta : EGG
Doenges  M E. 1999. Rencana asuhan Keperawatan untuk perencanaan dan dokumentasi perawatan pasien edisi 3 , Jakarta : EGC
Harahap Marwali 2000 , Ilmu Penyakit Kulit , Jakarta : Hipokrates
Hasan Rusepno 2005 , Ilmu Keperawatan Anak , Jakarta : FKUI
Mansjoer , Arief , 2000 , Kapita Selekta Kedokteran , Jakarta : EGC

Untuk Asuhan Keperawatannya DISINI

TINJAUAN PUSTAKA
( GBS )
 

Definisi
SGB adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.

 Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
a.    Infeksi
b.    Vaksinasi
c.    Pembedahan
d.    Penyakit sistematik:
•    keganasan
•    systemic lupus erythematosus
•    tiroiditis
•    penyakit Addison
e.    Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.

Manifestasi Klinis
Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
1.    Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
a.    Terjadinya kelemahan yang progresif
b.    Hiporefleksi

2.    Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
a.    Ciri-ciri klinis:
•    Progresifitas:
Gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
•    Relatif simetris
•    Gejala gangguan sensibilitas ringan
•    Gejala saraf cranial
50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain.
•    Pemulihan:
Dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang sampai beberapa bulan.
•    Disfungsi otonom:
Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dangejala vasomotor.
•    Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b.    Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
•    Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP serial
•    Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
•    Varian:
    Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
 Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
c.    Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
•    Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal

Penatalaksanaan
1.    Terapi
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan
melalui sistem imunitas (imunoterapi).
2.    Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidakmempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
3.    Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan factor auto anti bodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasilyang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafasyang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasma paresis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
4.    Pengobatan imunosupresan:
a.    Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasma paresis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
b.    Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
•    6 merkaptopurin (6-MP)
•    Azathioprine
•    Cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.

Untuk Patway disini

Untuk Tinjauan Kasus ( Askep) disini


 Diabetes Mellitus Gestasional
(DMG)



A.    PENGERTIAN
  • Diabetes Mellitus Gestasional (DMG) didefinisikan sebagai gangguan toleransi glukosa.
  • Suatu Intoleransi karbohidrat ringan ( toleransi glukosa terganggu ) maupun berat yang terjadi atau diketahui pertama kali pada saat kehamilan berlangsung.
  •  Penyakit kelainan metabolisme, dimana penderita tidak bias secara otomatis mengendalikan tingkat glukosa dalam darahnya.

Berbagai tingkat yang diketahui pertama kali saat hamil tanpa membedakan apakah penderita perlu mendapat insulin atau tidak. Pada kehamilan trimester pertama kadar glukosa akan turun antara 55-65% dan hal ini merupakan respon terhadap transportasi glukosa dari ibu ke janin. Sebagian besar DMG asimtomatis sehingga diagnosis ditentukan secara kebetulan pada saat pemeriksaan rutin.

B.     ETIOLOGI

DMG disebabkan karna kekurangn insulin. Yang disebabkan karna adanya kerusakan sebagian kecil atau sebagian besar sel – sel beta pulau langerhans dalam kelenjar pancreas yang bekarja menghasilkan insulin.
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolism endokrin dan karbohidrat untuk makanan janin dan persiapan untuk menyusui. Bila tidak mampu meningkatkan produksi insulin yang mengakibatkan hyperglikemia atau DM kehamilan ( DM yang timbul dalam kehamilan ).


C.    TANDA DAN GEJALA
ü  Sering  kencing pada malam hari ( polyuria )
ü  Selalu merasa haus ( polydipsia)
ü  Selalu merasa lapar ( polyfagia )
ü  Selau mersa lelah atau kekurangan enrgi
ü  Penglihatan menjadi kabur
ü  Hyperglaisimia ( peningkatan abnormal kandungan gula dalam darah )
ü  Glaikosuria ( glukosa dalam urine )
ü  Mata kabur
ü  Pruritus vulva.
ü  Ketonemia.
ü  BB menurun
ü   Gula darah 2 jam pp > 200 mg/dl.
ü  Gula darah sewaktu > 200 mg/dl
ü  Gula darah puasa > 126 mg/dl.

D.    KLASIFIKASI

1.      Diabetes mellitus yang tergantung pada insulin ( Tipe 1/ Id DM )
Biasanya terdapat pada orang yang masih muda. Gejalanya terjadi dengan tiba – tiba . kadar glukosa darah yang tinggi.
2.      Diabetes mellitus yang tidak tergantung pada insulin ( Tipe 2 / NID DM)
Biasanya terdapat pada orang yang usianya > 40 tahun , terjadi secara perlahan – lahan , dan kemungkina tidak ada tanda atau gejala , biasanya terdapat pada orang gemuk , usia lanjut dan tidak aktif.
3.      Diabetes tipe lain.
4.      Diabetes mellitus gestasional (DMG) yaitu diabetes yang hanya timbul dalam kehamilan.


Tabel. klasifikasi insulin

KARAKTERISTIK
TIPE 1 ( DEPENDEN INSULIN )
TIPE 2 ( NON DIPENDEN INSULIN )
Lokus genetic
·         Kromosom 6
·         Tidak diketahui
Onset umur
·         < 20 tahun
·         < 40 tahun
·         Umur > 40 tahun
Habitus
·         Normal,terjadi pemborosan energi
·         Gemuk
Insulin plasma
·         Insulin rendah/tidak ada/ kurang
·         Tinggi.resistensi terhadap insulin tinggi
Glucagon
·         Konsentrasi tinggi dapat diturunkan
·         Konsentrasi tinggi , resistensinya juga tinggi
Komplikasinya reaksi kortison terhadap terapi insulin
·         Ketoasidosis
·         bereaksi
·         hyperosmoler sampai koma
·         dapat bereaksi
Sulfonil- urea
·         tidak bereaksi
·         bereaksi dengan baik

E.     SKRINING
Fourth International Workshop-Conference on Gestational Diabetes: Merekomendasikan skrining untuk mendeteksi Diabetes Gestasional :
  1. Risiko Rendah :
Tes glukosa darah tidak dibutuhkan apabila :
  • Angka kejadian diabetes gestational pada daerah tersebut rendah
  • Tidak didapatkan riwayat diabetes pada kerabat dekat
  • Usia < 25 tahun
  • Berat badan normal sebelum hamil
  • Tidak memiliki riwayat metabolism glukosa terganggu
  • Tidak ada riwayat obstetric terganggu sebelumnya

2.      Risiko Sedang :
Dilakukan tes gula darah pada kehamilan 24 – 28 minggu terutama pada wanita dengan ras Hispanik, Afrika, Amerika, Asia Timur, dan Asia Selatan.
3.      Risiko Tinggi : wanita dengan obesitas, riwayat keluarga dengan diabetes, mengalami glukosuria (air seni mengandung glukosa).
Dilakukan tes gula darah secepatnya. Bila diabetes gestasional tidak terdiagnosis maka pemeriksaangula darah diulang pada minggu 24 – 28 kehamilan atau kapanpun ketika pasien mendapat gejala yang menandakan keadaan hiperglikemia (kadar gula di dalam darah berlebihan

F.     KOMPLIKASI

·           Tekanan darah tinggi, preeclampsia dan eclampsia.
Gestational diabetes akan meningkatkan resiko ibu untuk mengalami tekanan darah yang tinggi selama kehamilan. Hal tersebut juga akan meningkatkan resiko ibu untuk terkena preeclampsia dan eclampsia, yaitu 2 buah komplikasi serius dari kehamilan yang menyebabkan naiknya tekanan darah & gejala lain, yang dapat membahayakan ibu maupun sang buah hati.

·           Diabetes di kemudian hari.
Jika mengalami gestational diabetes, maka kemungkinan besar akan mengalami kembali pada kehamilan berikutnya. Selain itu, ibu juga beresiko untuk menderita diabetes tipe 2 di kemudian hari. Akan tetapi dengan mengatur gaya hidup seperti makan makanan yang bernutrisi & berolahraga dapat mengurangi resiko terkena diabetes tipe 2 nantinya. Untuk wanita dengan riwayat gestational diabetes, yang berhasi menurunkan berat badan hingga ideal setelah melahirkan, maka resikonya untuk terkena diabetes tipe 2 hanya kurang dari 1 per 4 wanita.


Komplikasi pad maternal
Komplikasi pada janin
·      Hipertensi 10-20 %
·      Hidraamnion 20-25%
·      Bakteriuria 7-10 %
·      Persalinan distosia 10-15 %
·      Kematian maternal jarang
·      Gangguan vaskuler sehingga menimbulkan : preeclampsia
·      Kematian perinatal tinggi
·      Kelainan congenital 6 %
·      Makrosomia
·      Kematian intra uterin
·      Abortus berulang / tanpa sebab
·      Respiratory distress syndrom
·      Dapat terjadi infertilitas
·      Emesis dan hyperemesis berat
·      Janin makrosomia cenderung menyebabkan pertolongan persalinan operatif transoabdominal
·      Dampak lain kolestrol tinggi dan hypertensi adalah :
·         Retinopati
·         Nefropati
·         Neuropath
·         ateroskelosis
·      pertolongan persalina pervaginam yang paling berbahaya adalah distosia bahu.

G.    PATOFISIOLOGI

Pada DMG, selain perubahan-perubahan fisiologi tersebut, akan terjadi suatu keadaan di mana jumlah/fungsi insulin menjadi tidak optimal. Terjadi perubahan kinetika insulin dan resistensi terhadap efek insulin. Akibatnya, komposisi sumber energi dalam plasma ibu bertambah (kadar gula darah tinggi, kadar insulin tetap tinggi).
Melalui difusi terfasilitasi dalam membran plasenta, dimana sirkulasi janin juga ikut terjadi komposisi sumber energi abnormal. (menyebabkan kemungkinan terjadi berbagai komplikasi). Selain itu terjadi juga hiperinsulinemia sehingga janin juga mengalami gangguan metabolik (hipoglikemia, hipomagnesemia, hipokalsemia, hiperbilirubinemia, dan sebagainya.
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolism endokrin dan karbohidrat yang menunjang pemasokan makanan bagi janin serta persiapan untuk menyusui. Glukosa dapat berdifusi secara tetap melalui plasenta kepada janin sehingga kadarnya dalam darah janin hampir menyerupai kadar darah ibu. Insulin ibu tak dapat mencapai janin, sehingga kadar gula ibu yang mempengaruhi kadar pada janin. Pengendalian kadar gula terutama dipengaruhi oleh insulin, disamping beberapa hormone lain seperti estrogen, steroid dan plasenta laktogen. Akibat lambatnya resorpsi makanan maka terjadi hiperglikemia yang relatif lama dan ini menuntut kebutuhan insulin. Menjelang aterm kebutuhan insulin meningkat sehingga mencapai 3 kali dari keadaan normal. Hal ini disebut sebagai tekanan diabetojenik dalam kehamilan. Secara fisiologik telah terjadi resistensi insulin yaitu bila ia ditambah dengan insulin eksogen ia tidak mudah menjadi hipoglikemi. Akan tetapi, bila ibu tidak mampu meningkatkan produksi insulin, sehingga ia relative hipoinsulin yang menyebabkan hiperglikemia atau diabetes kehamilan.
Pada DMG, selain perubahan-perubahan fisiologi tersebut, akan terjadi suatu keadaan di mana jumlah/fungsi insulin menjadi tidak optimal. Terjadi perubahan kinetika insulin dan resistensi terhadap efek insulin. Akibatnya, komposisi sumber energi dalam plasma ibu bertambah (kadar gula darah tinggi, kadar insulin tetap tinggi). Melalui difusi terfasilitasi dalam membran plasenta, dimana sirkulasi janin juga ikut terjadi komposisi sumber energi abnormal. (menyebabkan kemungkinan terjadi berbagai komplikasi). Selain itu terjadi juga hiperinsulinemia sehingga janin juga mengalami gangguan metabolik (hipoglikemia, hipomagnesemia, hipokalsemia, hiperbilirubinemia, dan sebagainya.

H.    FAKTOR RESIKO
a.  Factor kebidanan
  • Beberapa kali keguguran
  • Riwayat pernah melahirkan anak mati tanpa sebab yang jelas.
  • Riwayat pernah melahirkan anak dengan cacat bawaan.
  • Pernag pre-eklampsi
  • polihidramnion
b. Factor ibu
  • Umur ibu hamil lebih dari 30 tahun
  • Riwayat DM dalam keluarga
  • Pernah DMG pada kehamilan sebelumnya
  • Infeksi saluran kemih yang berulang-ulang sebelum hamil.

I.       PENGARUHNYA

Terhadap kehamilan
Terhadap persalinan
Terhadap nifas
·      Hyperemesis gravidarum
·      Pemakaian glikogen bertambah
·      Meningkatnya metabolism basal
·      Sebagian insulin ibu dimusnahkan oleh enzim insulin dalam plasenta
·      kegiatan otot rahim dan usaha meneran mengakibatkan pemakaian glukosa lebih banyak , sehingga dapat terjadi hypoglikemia , apabila disertai dengan muntah – muntah.
·           Lebih sering mengakibatkan infeksi nifas dan sepsis yang menghambat luka jaln lahir , baik rupture perineum maupun lika episitiomi

J.      PENATALAKSANAAN

a)        Pengelolaan medis
Sesuai dengan pengelolaan medis DM pada umumnya, pengelolaan DMG juga terutama didasari atas pengelolaan gizi/diet dan pengendalian berat badan ibu.
1.      Kontrol secara ketat gula darah, sebab bila kontrol kurang baik upayakan lahir lebih dini, pertimbangkan kematangan paru janin. Dapat terjadi kematian janin memdadak. Berikan insulin yang bekerja cepat, bila mungkin diberikan melalui drips.
2.      Hindari adanya infeksi saluran kemih atau infeksi lainnya. Lakukan upaya pencegahan infeksi dengan baik.
3.      Pada bayi baru lahir dapat cepat terjadi hipoglikemia sehingga perlu diberikan infus glukosa.
4.      Penanganan DMG yang terutama adalah diet, dianjurkan diberikan 25 kalori/kgBB ideal, kecuali pada penderita yang gemuk dipertimbangkan kalori yang lebih mudah.
5.      Cara yang dianjurkan adalah cara Broca yaitu BB ideal = (TB-100)-10% BB.
6.      Kebutuhan kalori adalah jumlah keseluruhan kalori yang diperhitungkan dari:
− Kalori basal 25 kal/kgBB ideal
− Kalori kegiatan jasmani 10-30%
− Kalori untuk kehamilan 300 kalor
− Perlu diingat kebutuhan protein ibu hamil 1-1.5 gr/kgBB

Jika dengan terapi diet selama 2 minggu kadar glukosa darah belum mencapai normal atau normoglikemia, yaitu kadar glukosa darah puasa di bawah 105 mg/dl dan 2 jam pp di bawah 120 mg/dl, maka terapi insulin harus segera dimulai.
Pemantauan dapat dikerjakan dengan menggunakan alat pengukur glukosa darah kapiler. Perhitungan menu seimbang sama dengan perhitungan pada kasus DM umumnya, dengan ditambahkan sejumlah 300-500 kalori per hari untuk tumbuh kembang janin selama masa kehamilan sampai dengan masa menyusui selesai.
Pengelolaan DM dalam kehamilan bertujuan untuk :
− Mempertahankan kadar glukosa darah puasa < 105 mg/dl
− Mempertahankan kadar glukosa darah 2 jam pp < 120 mg/dl
− Mempertahankan kadar Hb glikosilat (Hb Alc) < 6%
− Mencegah episode hipoglikemia
− Mencegah ketonuria/ketoasidosis deiabetik
− Mengusahakan tumbuh kembang janin yang optimal dan normal.
Dianjurkan pemantauan gula darah teratur minimal 2 kali seminggu (ideal setiap hari, jika mungkin dengan alat pemeriksaan sendiri di rumah). Dianjurkan kontrol sesuai jadwal pemeriksaan antenatal, semakin dekat dengan perkiraan persalinan maka kontrol semakin sering. Hb glikosilat diperiksa secara ideal setiap 6-8 minggu sekali.
Kenaikan berat badan ibu dianjurkan sekitar 1-2.5 kg pada trimester pertama dan selanjutnya rata-rata 0.5 kg setiap minggu. Sampai akhir kehamilan, kenaikan berat badan yang dianjurkan tergantung status gizi awal ibu (ibu BB kurang 14-20 kg, ibu BB normal 12.5-17.5 kg dan ibu BB lebih/obesitas 7.5-12.5 kg).
Jika pengelolaan diet saja tidak berhasil, maka insulin langsung digunakan. Insulin yang digunakan harus preparat insulin manusia (human insulin), karena insulin yang bukan berasal dari manusia (non-human insulin) dapat menyebabkan
terbentuknya antibodi terhadap insulin endogen dan antibodi ini dapat menembus sawar darah plasenta (placental blood barrier) sehingga dapat mempengaruhi janin.
Pada DMG, insulin yang digunakan adalah insulin dosis rendah dengan lama kerja intermediate dan diberikan 1-2 kali sehari. Pada DMH, pemberian insulin mungkin harus lebih sering, dapat dikombinasikan antara insulin kerja pendek dan intermediate, untuk mencapai kadar glukosa yang diharapkan.
Obat hipoglikemik oral tidak digunakan dalam DMG karena efek teratogenitasnya yang tinggi dan dapat diekskresikan dalam jumlah besar melalui ASI


b). Pengelolaan obstetrik
Pada pemeriksaan antenatal dilakukan pemantauan keadaan klinis ibu dan janin, terutama tekanan darah, pembesaran/ tinggi fundus uteri, denyut jantung janin, kadar gula darah ibu, pemeriksaan USG dan kardiotokografi (jika memungkinkan).
Pada tingkat Polindes dilakukan pemantauan ibu dan janin dengan pengukuran tinggi fundus uteri dan mendengarkan denyut jantung janin.
Pada tingkat Puskesmas dilakukan pemantauan ibu dan janin dengan pengukuran tinggi fundus uteri dan mendengarkan denyut jantung janin.
Pada tingkat rumah sakit, pemantauan ibu dan janin dilakukan dengan cara :
Pengukuran tinggi fundus uteri :
·         NST – USG serial
·         Penilaian menyeluruh janin dengan skor dinamik janin plasenta (FDJP), nilai FDJP < 5 merupakan tanda gawat janin.
·         Penilaian ini dilakukan setiap minggu sejak usia kehamilan 36 minggu. Adanya makrosomia, pertumbuhan janin terhambat (PJT) dan gawat janin merupakan indikasi untuk melakukan persalinan secara seksio sesarea.
·         Pada janin yang sehat, dengan nilai FDJP > 6, dapat dilahirkan pada usia kehamilan cukup waktu (40-42 mg) dengan persalinan biasa. Pemantauan pergerakan janin (normal >l0x/12 jam).
·         Bayi yang dilahirkan dari ibu DMG memerlukan perawatan khusus.
·         Bila akan melakukan terminasi kehamilan harus dilakukan amniosentesis terlebih dahulu untuk memastikan kematangan janin (bila usia kehamilan < 38 mg).
·         Kehamilan DMG dengan komplikasi (hipertensi, preeklamsia, kelainan vaskuler dan infeksi seperti glomerulonefritis, sistitis dan monilisasis) harus dirawat sejak usia kehamilan 34 minggu. Penderita DMG dengan komplikasi biasanya memerlukan insulin.
·         Penilaian paling ideal adalah penilaian janin dengan skor fungsi dinamik janin-plasenta (FDJP).



DAFTAR PUSTAKA
Sarwono.2007.Ilmu Kebidanan.YBP-SP:Jakarta

Lange, oded dan Scott B. Ronson. 2000. Diabetes in Pregnency Practical Strategis in Obcetres and Gynecology. Philadelphia, Sydney, Tokyo: WB Saunders Company, Chapter 35, 360-369.

Chunningham, F. Gary CS. 2001. Diabetes, Williams Obsetrics, New York, Sydney, Toronto: McGraw-Hill, Scientific Publications, Part 1, Chapter 11, 66-70 


Untuk file dalam bentuk makalah download disini